Oleh: Joko Pinurbo
Surat
Kabar
Ayah saya seorang loper koran
yang sama gigihnya dengan wartawan.
Deadline nasibnya lebih keras dari
deadline tulisan.
Ibu suka memungut huruf-huruf di
koran
dan membubuhkannya ke dalam kopiku.
“Minumlah, anakku. Kau akan jadi
jurnalis jempolan.”
Saya sering mati kata di hadapan
peristiwa
ketika di antara baris-baris
tulisan
muncul bayangan ayah sedang
mengedarkan koran.
Dari koran saya belajar paham
bahwa headline hidup sering muncul
di saat-saat akhir yang rawan.
Entah mengapa selalu ada tangan tak
kelihatan
yang menyelamatkan saya
dari ancaman deadline yang kejam.
Ada camar berkelebat di cakrawala
halaman koran,
mengantar rindu dari dia yang sabar
menunggu.
Beri saya kemewahan membaca koran
sambil minum kopi di pagi hari,
sambil tercenung-cenung membaca
tulisan sendiri.
Bulan menemani saya menyiapkan
rubrik koran.
Cahayanya menembus mata saya yang
kesepian.
Saya letih diburu-buru peristiwa.
Di sebuah gang saya ditangkap oleh
sebuah kejadian:
seorang loper koran tercebur ke
selokan.
Ibu membuka surat wasiat ayah di
hadapan saya.
Ayah berpesan: jika beliau meninggal,
harap jenazahnya dibungkus koran.
(2012/2013)
Bagikan
Surat Kabar
4/
5
Oleh
Unknown