Oleh: Dea Anugrah
1989
memang setiap kisah
punya makamnya sendiri
tetapi di manakah
mesti kumakamkan kenangan?
seperti doa dan nujum
tak pernah menghindarkan
ladang-ladang jagung
dari serbuan belalang
demikianlah kecemasanku
tak menghindarkanmu
dari kepergian
(manisku, apakah di Beijing
orang-orang juga
membenci belalang?
apakah para mahasiswa
juga menangisi bonggol mentah
yang hilang dari ladang?)
memang setiap kisah
punya makamnya sendiri
tetapi di manakah
mesti kumakamkan kesepian ini?
di Tumen, hanya aku yang tak lagi
percaya
pada pertanda, pada isyarat
bencana yang dikirimkan dewa-dewa
sebab, bukankah pada hari kau
berangkat
kota cuma basah
dan kita hampir-hampir tak bicara?
di Lapangan Tiananmen, setiap kisah
memang telah bertemu makamnya
tetapi di manakah
mesti kumakamkan harapan?
Bagikan
1989
4/
5
Oleh
Unknown